Sumber:http://rscahyakawaluyan.com |
Stunting masih menjadi trending masalah kesehatan di Indonesia saat ini. Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.
Survei Pemantauan Status Gizi (PSG) diselenggarakan sebagai monitoring dan evaluasi kegiatan dan capaian program kesehatan, berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optima. Hal ini dapat berdampak pada produktivitas generasi muda untuk Indonesia masa depan. Dalam jangka panjang, stunting menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Jika PDB Indonesia sebesar USD 13.000 triliun, maka diperkirakan potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai USD 260-390 triliun per tahun (Bank Dunia, 2016). Ketika dewasa, anak yang mengalami kondisi stunting pun berpeluang mendapatkan penghasilan 20 persen lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menaruh perhatian penuh bersinergi untuk mencapai percepatan perbaikan gizi dengan dukungan lintas sektor. Kontribusi sektor kesehatan hanya menyumbang 20%, sedangkan sektor non kesehatan berkontribusi sebesar 80% dalam penangulangan masalah gizi. Dalam menanggulangi masalah kurang gizi diperlukan intervensi yang spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik dilakukan oleh sektor kesehatan seperti pendampingan 1000 hari pertama kehidupan,penyediaan vitamin, makanan tambahan, dan lainnya sedangkan intervensi sensitif dilakukan oleh sektor non–kesehatan seperti penyediaan sarana air bersih, ketahanan pangan, jaminan kesehatan, pengentasan kemiskinan, perumahan dan pemukiman,dinas sosial, dan lainnhya.
Pendampingan tenaga kesehatan pada 1000 hari pertama kehidupan (Intervensi Spesifik)
Untuk mengatasi stunting, Pemerintah telah menggerakkan Puskesmas sebagai ujung tombak mendampingi Ibu hamil dan balita untuk mencegah terjadinya stunting.
Program apa yang dilakukan Puskesmas?
Puskesmas mendata pasien Ibu hamil dan balita tiap desa secara lengkap
Pelayanan Antenatal Care (meliputi konsultasi Ibu dan anak, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan kesehatan gigi, dan edukasi gizi)
Pemberian makanan tambahan untuk Ibu hamil KEK (Kurang Energi Kronis) dan pemantauan secara rutin yang dilakukan oleh bidan atau ahli gizi Puskesmas
Kerja sama lintas Sektor (Intervensi Sensitif)
Mengingat intervensi spesifik hanya berperan 20% dalam mengatasi stunting, upaya Kesehatan Puskesmas juga dibantu oleh sektor non-kesehatan lainnhya contohnya:
Dinas Pertanian mengadakan edukasi melalui Program Gemar Makan Sayur dan Buah
Dinas Peternakan mempunyai Program Gerakan Minum Susu Bersama
Dinas Perikanan mempunyai Program Gemar Makan Ikan
Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa membantu pengembangan perekonomian masyarakat
Dinas Bkkbn mempunyai Program Edukasi Pola asuh anak, dan masih banyak lagi.
Peran Pemerintah dalam mempercepat pengentasan stunting. Kerja sama lintas sektor sangat diperlukan untuk mewujudkan Indonesia bebas stunting. |
Peran Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) bantu mencegah stunting pada Balita
Selain pemerintah, ujung tombak paling krusial untuk menangani stunting adalah peran keluarga. Intervensi yang telah dilakukan oleh pemerintah tak akan berguna apabila kesadara dari keluarga akan gizi dan kesehatan masih rendah. Oleh sebab itu, pemerintah memiliki program Keluarga Sadar Gizi (KADARZI), yaitu keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi setiap anggotanya. Suatu keluarga disebut KADARZI apabila telah berperilaku gizi yang baik yang dicirikan minimal dengan:
a. Menimbang berat badan secara teratur.
b. Memberikan Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai umur enam bulan (ASI eksklusif)
c. Makan beraneka ragam dan bergizi seimbang
d. Menggunakan garam beryodium.
e. Minum suplemen gizi sesuai anjuran.
Kesadaran keluarga terhadap gizi akan mempermudah tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan gizi dan kesehatan keluarga. Bagi para keluarga muda generasi milenial, mohon diperhatikan untuk kesehatan keluarganya, jangan sampai terlalu sibuk mencari uang lupa untuk memeriksakan kesehatan keluarganya terutama Ibu hamil dan anak balita.
Sumber: Indonesiabaik.id |
Sumber
Riskesdas 2017
Buletin Jendela Data Informasi dan Kesehatan Kemenkes Topik Utama Situasi Stunting di Indonesia
Rapat Koordinasi Mendorong Konvergensi/Integrasi Program
Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) di Wilayah Prioritas.Penguatan Peran Pemerintah
Daerah dalam
Pencegahan Stunting (KEMENDAGRI)
Komentar
Posting Komentar